Perihal Aku dan Sekeping Masa Lalu

The featured image is taken from Flickr

Perihal Aku dan Sekeping Masa Lalu (c) nadseu

.

Well, tidakkah kau berpikir kalau takdir itu kadang bisa sangat lucu?

.

Tempat ini tak banyak berubah dari yang kuingat. Gedungnya masih tampak megah dan kokoh, lapangannya masih luas, gerbangnya masih bertuliskan “SMA Bina Pertiwi”—belum beralih jadi panti jompo atau rumah sakit jiwa. Aku sudah hilang hitungan berapa bulan tak kemari, tapi rasanya bukan waktu yang sebentar.

Begitu melangkahi gerbang, pandanganku langsung menangkap sosok Pak Wiryo—petugas keamanan yang kukenal betul sebab aku sering terlambat. Senyum pria setengah baya itu mengembang sumringah ketika melihatku. Ah, kalau dia tahu dulu aku kerap izin keluar untuk fotokopi tapi berakhir di Dunkin’ Donuts hingga jam pulang tiba, pastilah dia tak akan  tersenyum seperti itu lagi padaku. Diberkatilah pendiri gerai donat yang jaraknya hanya selemparan kancut dari sekolah. Dan terkutuklah aku karena hobi mengibuli satpam baik hati seperti Pak Wiryo.

Aku balas meringis demi berlaku sopan, lantas membiarkan sepasang tungkaiku beranjak sesuai kehendak mereka tanpa banyak melibatkan kepala. Langkahku ternyata teruntai begitu saja ke ruang sekretariat OSIS di ujung koridor. Yeah, pilihan bagus, kaki.

Meski aku tidak tergabung dalam kepengurusan OSIS, karib-karibku di organisasi itu acap semaunya menunjukku menjadi panitia macam-macam kegiatan. Mereka bilang aku patut ditempatkan di seksi humas lantaran pandai bicara. Itu hanya bualan manis, aku tahu. ‘Pandai bicara’ adalah bentuk halus dari ‘cerewet bukan main dan lebih baik jangan dijadikan rekan debat jika kau tak mau menyesal’.

Biarpun begitu, menyambut tawaran posisi itu dengan sebentuk “iya” adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah kuambil. Menjadi humas membuatku punya pengalaman menyenangkan yang melibatkan media massa serta beraneka rupa manusia. Kuberitahu bagian terbaiknya: aku bisa menjajah ruang OSIS serta menjadikannya tempat pengungsian bila sedang tak berselera belajar di kelas—dan itu artinya setiap saat. Tak jarang pula aku bersembunyi di sini agar seragam putih-kelabuku yang kekecilan bisa lolos dari razia para guru. Ruangan ini punya kipas angin, teve, kursi-kursi empuk, dan meja besar yang dapat kufungsikan untuk berbaring jika mau. Dosa jika aku masih berharap lebih.

Sekarang, yang tersaji di depanku adalah versi upgrade dari semua itu. Televisi plasma telah menggantikan kotak hitam menggembung milik kami dulu, pun ada pengondisi udara yang mengambil alih tugas kipas baling-baling. Bahkan terdapat kulkas mini juga di pojokan. Yah, aku sih tak bakal menyimpan cokelat atau minuman di sana karena pasti berakhir di tangan oknum-entah-siapa sebagai jarahan, jadi kurasa benda itu tak berguna-berguna amat.

Terlepas dari perkakasnya yang kian mewah, bagiku ruang ini tetaplah tempat kembali. Temboknya merekam dengan baik segala perdebatan di tiap rapat, juga gelak dan sedu.

Pernah aku berlari masuk dengan air mata menganaksungai—ya ampun, pasti rupaku jelek sekali—selepas dikata-katai belagu oleh seniorku yang centilnya tiada tanding. Kawan-kawanku lekas menyemut, menghibur sedapatnya, lalu secara magis membuatku merasa baikan. Di lain kala, giliran Nanda yang menangis meraung-raung dan mendapat perlakuan serupa dari kami semua. Mulanya kupikir sahabatku itu kerasukan, tapi ternyata dia hanya patah hati akibat diputuskan pacarnya.

(Omong-omong soal kerasukan, aku jadi ingat sobatku yang lain, Ratu. Dia pernah melemparkan tebakan, “Kerang, kerang apa yang seram?” Berhubung tak ada satu pun dari yang kami betul-betul memerhatikan, akhirnya dijawabnya sendiri, “Kerangsukan.” Astaga, temanku itu.)

Berbeda dengan Nanda dan mungkin kebanyakan gadis lain, aku sama sekali tidak terisak saat hubungan percintaanku balik-kanan-bubar-jalan. Aku dan Diju—pacarku waktu itu—setuju dengan suara bulat kalau kami memang tak cocok jadi pasangan. Tujuh bulanku bersama Diju lumayan mengasyikkan, sejatinya. Kau tahulah anak SMA dan kencan tipikal mereka: berangkat dan pulang sekolah bersama, pergi ke taman bermain, memberi kejutan di hari ulang tahun masing-masing, seperti itulah. Hanya saja, ikatan pertemanan lebih oke buat kami yang perangainya nyaris sama; banyak omong dan cerah ceria.

Ini rahasia, tapi … pelabuhan hatiku yang sesungguhnya adalah seorang pemain basket berpembawaan kalem yang diam-diam sering kuperhatikan dari jendela. (Ada salah satu jendela di ruang OSIS yang langsung jadi favoritku karena mengarah langsung ke lapangan belakang—tempat tim basket sekolah kami rutin berlatih setiap Rabu sore.)

Anak laki-laki itu Artma namanya. Kendati dia tidak tampan atau populer, otaknya teramat encer. Kami tidak benar-benar saling kenal, tapi aku tahu Artma selalu masuk peringkat sepuluh besar sesekolah. Kudengar dia pernah menolak jabatan kapten tim karena yang terpenting baginya bukanlah menduduki pangkat tertinggi, melainkan menikmati permainan basket itu sendiri. Bagaimana hatiku tak lumer mendapati sosoknya yang rendah hati begitu?

Bahkan hingga kini, sensasi-sensasi yang berhubungan dengan Artma menempel di serebrumku seakan diberi perekat super; desir bahagia di dada tiap kali manikku membingkai figurnya, kepanikan yang mendadak bertandang ketika kami harus menjalin konversasi, juga pedih hati saat tahu dia punya pacar baru.

Orang-orang itu … apa kabarnya, ya?

Apakah Nanda, Ratu, Diju, dan Artma suka merindukan masa SMA seperti aku yang bandel ini?

Bagaimana dengan Yusma si ketua-OSIS-karismatik-yang-penggemarnya-tak-cukup-ditampung-di-hanya-satu-lapangan? Atau Dika, teman semeja yang selalu menyalin tugas geografi kepunyaanku?

Mataku mulai terasa panas dan disesaki cairan yang bisa meluncur turun sewaktu-waktu. Astaga, sentimental sekali. Sebaiknya aku buru-buru keluar sebelum—

“Bu Sherryl?”

—tepergok menangis, apalagi oleh muridku sendiri.

Tapi sudah terlambat, tentu saja. Dan ternyata yang menemuiku tak hanya satu, tapi dua orang siswi. Ya sudah, lebih baik aku menggali lubang kubur sekarang juga.

“Wah, sudah lama sekali kami nggak  melihat Ibu!”

Belum sempat aku membuka mulut untuk menanggapi, siswi yang satu lagi sudah mengoceh, “Bu Sherryl keren banget bisa jadi Guru Terbaik Se-Indonesia. Selamat ya, Bu! Kami kangen sama Bu Sherryl, lho. Habisnya Ibu lama banget di karantina. Hari ini sudah mulai mengajar lagi, ‘kan?”

Baiklah, sekarang aku benar-benar sesenggukan. Salahkan dua remaja putri di depanku ini dan sambutan mereka yang mengharukan. Bu Sherryl-mu ini bukan siapa-siapa, Nak, hanya gadis bengal yang belum layak dihormati dan disayangi sebegitu dalamnya.

“Lho, Ibu kok menangis?” Keduanya tampak keheranan.

Seraya menghapus air mata sekenanya, aku berucap, “Nggak apa-apa, Sayang, Ibu cuma terlalu senang akhirnya kembali ke Bina Pertiwi lagi dan bertemu kalian. Tapi Ibu baru bisa mengajar besok, maaf, ya?” Aku mengangkat kedua ujung bibir; tersenyum setulus yang aku bisa.

Kudengar embusan napas kecewa dari dua anak itu, namun kemudian disusul dengan perkataan salah satunya, “Ya sudah, deh, yang penting Bu Sherryl sudah di sini. Sekali lagi selamat ya, Bu, kami bangga banget sama Ibu.” Mereka lantas mencium tanganku dan pamit keluar setelah aku menyatakan terima kasih.

Well, tidakkah kau berpikir kalau takdir itu kadang bisa sangat lucu? Aku memang gadis yang menghabiskan masa SMA dengan membuat onar, melanggar peraturan, dan sibuk mengurusi pergaulan sosial, tapi juga wanita yang memilih menjadi guru dan sangat bahagia karenanya.

.

“Mau dengar rahasia? Katanya, dulu Bu Sherryl pas SMA nakal banget! Hobinya bolos sama telat, terus seragamnya suka dipermak-permak gitu. Sama sekali bukan anak baik, deh, pokoknya.”

“Yang benar kamu? Gila, cadas juga tuh guru. Aku kira beliau tipe-tipe anak SMA yang rajin dan manis. Secara dia kalau ngajar menguasai materi banget, enak pokoknya.”

“Kenapa juga aku bohong? Emang keren banget Bu Sherryl. Prestasinya sampai nasional, pula. Tambah nge-fans, deh, aku sama beliau.”

kkeut.

.


notas:

  • HUAHAHAHA aneh dan panjang banget, maafin 😦
  • tapi sayang kalo idenya ga dikeluarin, so yeah.

Published by

haebaragi

She tells lies thru her writings.

2 thoughts on “Perihal Aku dan Sekeping Masa Lalu”

  1. Hi, kak 🙂 lagi berpikir aku butuh cerita yang agak gloomy sad gitu, tapi kayaknua cerita kakak lebih cocok. Pembawaannya yang formal tapi agak sarkas dan masa bodo, jadi humornya kerasa pas, “belum beralih jadi panti jompo…” atau “jaraknya hanya selemparan kancut” LOL. Nyenengin banget

    Terus nostalgia yang… Manis sih kalau aku bilang, dan agak sedih setiap diingetin sama kenyataan kita punya temen yang dulu deket, sekarang ntah pakabar :((

    Last, have a nice day kak 🙂

    Like

    1. halooo sherrr! lagi sibukkah di real life? kalo iya semoga semua urusannya dimudahin yaaa :))

      iya banyak yang bilang tulisanku vibenya formal??? jadi pengen luwesan dikit nih nulisnya 😦 terus aku emang lagi kangen sma banget sih pas bikin ini, jadi sebenernya rada curhat juga hahahaha. and yes, life is about welcoming people and letting them go.

      thank you yaaa sheerr hehehe semoga weekendnya wonderfuuulll ❤

      Like

Let's talk, shall we?