Behind His Wall

Featured image © Alex Jodoin

Behind His Wall © nadseu

x

Bila ada orang yang tahu betul bagaimana caranya membuat kepalaku mau meledak, maka orang itu adalah Algis.

x

Algis adalah definisi sebenar-benarnya dari buntalan dosa, sungguh. Aku curiga jangan-jangan dia jadi kudisan atau apa bila sehari saja tidak menghadiahkan kesialan pada orang lain. Sebenarnya itu bukan masalah buatku, kalau saja “orang lain”-nya bukan aku.

Kami pernah melakukan aksi terjungkal berjemaah ke selokan karena dia sok multitasking: mengemudikan motor sembari mengganyang seplastik cilok. Pernah pula kaus Volcom-ku terkena muntahan kucingnya yang baru saja menelan kulit rambutan. Dan waktu prom—ya Tuhan, itu adalah salah satu yang terparah. Jika tahu kami bakal berangkat naik bus, aku pasti lebih memilih untuk pergi bersama Ivan atau Nadhief saja. Bukan salah Algis, sih, kalau Honda City miliknya masuk bengkel dan kami tak dapat taksi meski sudah satu jam mengorbankan diri jadi santapan nyamuk di tepi jalan. Tapi tetap saja, gaun pesta dan sepatu hak tidak didesain untuk naik kendaraan umum, ‘kan?

Ketika tahu kami diterima di universitas dan jurusan yang sama, aku langsung sadar jika takdir belum puas mempermainkanku. Astaga, seakan tiga tahunku bersama Algis di SMA belum cukup menyusahkan saja. Sepertinya diriku di kehidupan yang lalu telah berbuat dosa yang amat besar sehingga kini aku kudu menebusnya dengan menanggung apes berkepanjangan.

Omong-omong, oknum A yang tengah kukisahkan ini sekarang ada di Papua. Inginku dia pindah secara permanen ke pedalaman di sana, tapi dia hanya berlibur, sayangnya. Alih-alih senang karena belenggu kesusahan yang menjeratku melonggar untuk sementara, aku malah iri pada Algis. Papua ternyata indah sekali, sialan. Tuyul satu itu sengaja membuatku panas hati dengan tak henti-henti mengirimkan bermacam foto. Ada potret Danau Sentani, Lembah Baliem, papeda atau bubur sagu khas sana, dan … dirinya yang sedang nyengir dengan latar belakang sebuah pantai di Raja Ampat. Cengiran yang kelewat lebar itu mengindikasikan jika dia lupa ini sedang musim tugas.

Kuharap Algis tak membawakanku masalah selagi kami terpencar jarak.

Aku juga berharap dia disengat ubur-ubur hingga sekujur badannya gatal-gatal, Tuhan.

x

Harusnya aku tahu bahwa doa yang jahat akan dikembalikan ke penuturnya.

Karmaku datang ketika telepon dari Algis masuk ke ponselku, malam di mana esok paginya adalah tenggat waktu pengumpulan salah satu tugas terpenting sepanjang semester. “Kamu bakal jadi orang paling baik sedunia, Jan, kalau mau bantu re-upload tugasku. Please, di sini susah banget cari sinyal,” mulut manisnya merayu.

Kalau kau ingin tahu, setiap mahasiswa di kampus kami wajib memiliki akun di situs elektronik khusus yang dibikin oleh pihak kampus. Akun itu digunakan untuk mengunggah tugas kami dan para dosen punya akses penuh ke setiap akun.

Permohonan Algis menuntunku ke satu pertanyaan: apakah sinyal internet di Papua hanya muncul jika digunakan untuk mengirim foto-foto tanpa guna dan mendadak lenyap saat dibutuhkan untuk keperluan kuliah? Aku melenguh dan hampir menolak, tapi kemudian bayangan Algis mendapat nilai E karena tidak mengumpulkan tugas mencuat di pikiranku tanpa aba-aba. Kasihan juga, kalau demikian.

Algis memang sungguh, sungguh, sungguh pandai memanfaatkan sisi ketidaktegaan seorang Anjani Galuh.

Yang jadi masalah, dia langsung memutuskan hubungan telepon tanpa sempat memberitahuku kata sandi akunnya. Yang kudapat ketika aku menelepon balik hanyalah nada sambung yang berujung pada kotak pesan suara. Pesan-pesan singkatku pun tak berbalas. Akun kami memang hanya bisa dibuka dengan memasukkan nomor induk dan sandi masing-masing. Dipikirnya aku Ki Joko Bodo, bisa dengan gampang menebak apa yang ada di balik tempurung kepala orang lain? Aku bahkan tidak memiliki rambut awut-awutan dan kumis melintang seperti lelaki itu, yang benar saja.

Di depan layar laptop, aku mengomando pikiranku untuk kerja rodi. Jika aku jadi Algis, kira-kira aku akan memilih apa, ya, untuk dijadikan kata sandi? Kucoba memasukkan tanggal lahirnya, nomor ponselnya, hal-hal yang jadi favoritnya, bahkan nama mantan pacarnya, tapi semua bukan merupakan kode yang tepat. Bila ada orang yang tahu betul bagaimana caranya membuat kepalaku mau meledak, maka orang itu adalah Algis.

Seraya meniupkan napas frustrasi, aku mengetikkan “01-09-1997”—tanggal lahirku. Seketika kukulum tawa geli, mana mungkin sandinya adalah deretan angka itu. Pasti aku sudah gila.

Atau mungkin Algis yang gila.

Karena setelahnya, laman akun Algis terbuka. Dia benar-benar menggunakan tanggal kelahiranku sebagai kata sandi.

Dan aku tidak bisa mencegah diriku untuk tidak merasa senang.

kkeut.

x


notas:

  • i finished this fiction by the help of playlist below. it’s a blessing, everyone, please take a listen.

Published by

haebaragi

She tells lies thru her writings.

8 thoughts on “Behind His Wall”

  1. Eiiii
    Tsundere attacks
    Wah ga nyangka ternyata si algis pake tgl lahir Anjani? Yg nyesek kalo ternyata dia ada cewek lain yg tgl lahirnya itu -.-
    Keep writing nad, tulisanmu enak dibaca bgt sumpah

    Like

    1. aku ga kepikiran sama sekali sih kak soal skenario cewek-bertanggal-lahir-sama itu, tapi boleh juga idenya ahaha 😀

      makasih banyak sekaliiii kak lianaaa, aku seneng banget baca komen kakak ❤

      Like

  2. Itu Algis pas naik motor sambil makan cilok kok aku keinget Taehyung pas sepedaan sambil makan jajan sih ah emang ya anak reckless kayak mereka tuh mengundang tabokan banget -_- terus endingnya dooong hahaha osi ae kamu mas, B type banget ya dia yang modelan tsundere pake kode yang nyusahin gitu wkwkwk gemesin banget tau nads. Keep writing teruuus!❤

    Like

    1. halu bellaaa my twinnieee, glad to see you here ❤

      hahaha bener juga ya algis ini mirip taehyung??? sebenernya aku ga kepikiran sih visualisasinya algis kayak gimana, jadi oke-oke aja kalo kamu bayanginnya taehyung x)) iyesss bel cerita ini emang berkembang dari ide tentang password itu sih hehe.

      makasih banyak yaaa bel, here’s my warm hug goes to youu ❤

      Like

  3. This is soooo cute 😄

    The plot—this is a compliment, trust me—iya, aku cukup menebak what will happen, tapi itu sangat amat gak masalah, because the point is, I like you writing so much because they way you deliver it and the words you choose is so nice! 👍👍

    Maafkan comment bilingualku yang acak-acakan juga HAHAHA. Anyway keep making something sweet kak! 🙂

    Like

    1. HAHAHA ya mau gimana sher ini emang plotless 😦 cara nulisku??? sebenernya?? biasa aja??? hahahaha tapi seneng deh kalo sher sukaaa 😀

      no need to say sorry sheeer, any comments are appreciated kokkk di sini hehe makasih banyak yaaa sher ❤

      Like

  4. Hai kak Nad!

    Algis bikin gemes sumpah. Dibalik tindakannya yang bikin jengkel ternyata dalemnya… ah, udahlah.
    Omong-omong soal Papua, iya sih. Aku pengen banget dari dulu ke Papua, soalnya objek wisatanya bagus-bagus /ga ada yang nanya woy/

    Aku ga tau mau komen apa sih kak, tapi cuma mau bilang kalau tulisan kakak tipikal fic yang aku suka ehe❤

    Keep making something ya kak!

    Like

    1. alooo tasya 😀

      hehehe algis emang something ya tas, tapi anjani juga ga kalah gemesin lohh bilangnya kesel sama algis tapi ternyata seneng juga pas tau passwordnya :3 papua emang hidden treasure tas huhu aku liat di instagramnya temen aku yang barusan dari sana tuh cantik banget tempatnya ;_;

      seneng banget kalo tasya sukaaa hehe makasih sekaliii tas ❤

      Like

Let's talk, shall we?